Thursday, January 21, 2021

Challenge Day #23: Write About a Lesson You’ve Learned

Edit Posted by with No comments


Tema ini sebenarnya harusnya tema hari ke 24. Tapi aku tukar dengan tema 23 karena untuk sekalian menjelaskan kenapa challenge ini berhenti di Oktober dan baru bisa dilanjutkan Januari.

Jadi… Yang terjadi adalah aku dapet kerjaan di tempat baru. Cuma sementara sih, karena memang di sana secang tidak ada lowongan untuk fulltime atau long-term contract. Aku ditawarin untuk jadi konselor sekolah di sebuah sekolah swasta berbasis internasional. Kontraknya selama 4 bulan saja, dari September sampe Desember, karena menggantikan konselor yang sedang cuti melahirkan. Jadilah… Aku memulai challenge ini tadinya di tengah-tengah masa kerjaku di sana.

Long story short, aku mengalami up side down yang luar biasa di tempat ini. Aku selalu mendeskripsikan kondisiku sebagai “aku dipaksa untuk beradaptasi dalam waktu singkat, dituntut untuk memahami sistem dan sistematika kinerja mereka namun aku tidak diberikan pengarahan yang cukup untuk mencapai apa yang mereka harapkan”. Jadi… Yang ada selama 4 bulan aku kerja di sana, aku merasa 4 bulan itu adalah masa-masa paling distress dalam hidup aku.

Awal aku berada dalam kondisi distress di tempat kerja aku itu, yang aku lakukan untuk katarsis adalah menangis. Saat itu, aku pikir semua akan selesai setelah satu titik puncak distress (masa-masa nulis raport siswa). Ternyata… Tekanan dan kondisi distressnya makin tinggi dan nggak selesai-selesai. Aku yang selama ini merasa weekends dan weekdays membawa energi positif dan negatif yang sama, saat itu merasa weekdays adalah neraka sementara weekends adalah surga. Selesai nulis report siswa, yang aku lakukan cuma duduk dan nangis di depan laptop. Tapi aku harus lanjut zoom meeting karena itu kegiatan yang wajib dihadiri oleh rekrutan baru (seperti aku).

Aku menyadari sepenuhnya kalau berada di posisi ini sangat nggak baik untuk kesehatan mental aku. Tapi… Aku nggak punya pilihan untuk keluar atau berhenti. Jadi yang aku lakukan adalah bertahan. Selama ini, aku adalah tipe orang yang selalu fight over flight. Buatku, emotion-focused nggak akan pernah menyelesaikan masalah dan “tidak berguna”. Aku selalu mengutamakan problem-focused dan memberikan self-reward setelah berhasil bertahan dan mengahadapi semuanya. It always work that way.

Kali inipun aku mencoba hal yang sama. Memaksa diri aku untuk mencapai limit dan bertahan dalam kondisi distress ini sampai kontrak aku selesai. Aku berpikir pasti bisa dilakukan karena selama ini aku selalu bisa memaksa diriku bertahan. Tapi aku melupakan satu hal. Aku nggak pernah memaksakan diri untuk bertahan secara emosional pada kondisi distress. Mungkin karena alasan ini, aku merasa kondisiku saat itu adalah kondisi paling berat selama hidupku.

Dan ternyata, setelah sampai pada limitnya, damage yang terasa itu luar biasa. Tiga hari sebelum hari terakhir semester satu, aku jatuh sakit. Demam tinggi, sakit kepala, kehilangan napsu makan dan beberapa bagian tubuh mendadak kaku. Mirip sama simptom COVID-19? Ya, tapi aku tahu itu bukan. Menurunnya kesehatanku adalah hasil dari aku yang memaksakan diri untuk bertahan dalam kondisi ini.

Ketika aku memaksakan diri untuk bertahan sampai limit, waktu yang biasanya aku butuhkan untuk fully recovered adalah 1-3 hari. Untuk kondisi kali ini, aku butuh 14 hari untuk benar-benar fully recovered. Setelah benar-benar pamitan dan disconnecting dengan semua yang berhubungan dengan sekolah ini, energi dan mood positifku kembali seperti semula. Like a magic!

So… The lesson I’ve learned is “emotional-focused coping is always an option. It isn’t a bad thing and sometimes we need it. To focusing ourselves back to the real problem”. Terkadang, recharging mood itu baik, bisa dilakukan karena membantu pikiran kita kembali ke jalurnya dan nggak akan membuat kita terlalu banyak kehabisan energi saat menghadapi stressor dalam hidup.

0 comments:

Post a Comment