Friday, September 17, 2021

Kursi Listrik di Masa Lalu, Ponsel di Masa Kini

Edit Posted by with No comments

 


Ada yang nonton drakor ini?


Awalnya aku nonton drakor ini karena mau liat Jinyoung (aku bukan Ahgase-fansnya Got7, tapi aku selalu suka sama aktingnya dia). Tapi ternyata konsep dramanya ini bagus banget. Drama ini menggambarkan distopia Seoul di masa depan (jadinya kaya Gotham city gitu), ceritanya setelah mereka bisa menangani pandemi COVID19 ini. Setting kotanya tuh kumuhnya ya kumuh banget, tapi di bagian glamor ya glamor banget. Si pemeran utamanya, si Hakim Kang Yohan (diperanin sama Ji Sung) adalah hakim yang pengen banget mengadili orang-orang korup di negara itu namun nggak bisa tersentuh sama hukum karena mereka punya uang kekuasaan dan andil besar dalam mengembalikan kejayaan Seoul (bahkan mereka sampe bilangnya mengembalikan kejayaan Republik Korea Selatan). Cara yang dipake sama Kang Yohan ini adalah mengusulkan kepada Mahkamah Agung untuk melibatkan warga dalam sistem peradilan mereka. Bentuk nyatanya? Sebuah persidangan daring.


Ya, bener. Konsepnya unik banget.




Jadi, di ruang sidang ada satu hakim ketua (yaitu si Kang Yohan) dan dua asisten hakim (hakim Kim Gaon dan hakim Oh Jinjoo). Selain mereka, ada jaksa penuntut dan pengacara. Terdakwanya juga ada. Apa yang kurang? Juri. Iya, di ruang sidang daringnya Kang Yohan nggak ada jurinya. Trus terdakwa mendapat putusan bersalah atau nggak dari mana?



Dari voting rakyat. Ada aplikasi yang namanya DIKE. Aplikasi itu dipake untuk nonton live streaming dan vote langsung. Macem acara pencarian bakat gitu deh. Katanya ini untuk mempraktekkan demokrasi yang sesungguhnya (padahal mah... Jangan disebut deh. Ntar jadinya spoiler).

Anyway... Yang mau aku bahas bukan filmnya, bukan jalan ceritanya, tapi sesuatu yang aku sadari saat nonton episode 14. Coba liat dulu cuplikan video yang bikin aku terinspirasi dan akhirnya bikin tulisan ini.




Singkatnya, si terdakwa ini mengakui bahwa dirinya membunuh seorang warga sipil atas kesadaran diri dan bukan karena perintah atau paksaan. Setelah diputuskan dengan vote warga bahwa si terdakwa ini bersalah, Hakim Ketua memutuskan hukuman yang akan di jalani berdasarkan putusan hukuman mati yang dijatuhkan kepada terdakwa. Hukuman mati dengan kursi listrik. Yang membuat hukuman ini jadi "menarik" adalah eksekusinya. Nggak disebutin satu vote itu setara dengan berapa voltase, tapi dibilang kalo mau eksekusinya berhasil, votenya harus sampe minimal 1 juta vote. Mengerikan ya? Tapi waktu nonton episode ini, rasanya menegangkan loh.




Jadi... Waktu pertama kali ngeliat adegan ini, aku langsung keingetan sama ekperimen yang pernah dilakukan sama Stanley Milgram tentang kepatuhan dan setrum-menyentrum (kalau mau baca ringkasan eksperimennya, silahkan dibaca di page temenku, si Kimi, yang nggak pernah mau ngaku kalo aku nuduh dia sebagai orang pinter yang baik hati). Kenapa kepikiran sama Milgram, karena orang-orang ini tau bahwa vote mereka memberikan dampak pada si terdakwa. Mereka sadar bahwa mereka nggak mau disebut sebagai seorang pembunuh (dengan ikut serta dalam menaikkan voltase kursi listriknya yang bikin si terdakwa tersiksa), tapi mereka tetap tergerak untuk menekan satu vote di ponsel mereka demi ikut serta dalam menegakkan keadilan. Entah karena alasan konformitas (orang lain melakukan, jadi saya ikutan biar dianggap sudah ikut menegakkan keadilan) atau karena kepatuhan (dihimbau oleh Hakim Kang untuk memberikan hukuman yang setimpal dari kejahatan yang sudah dilakukan oleh terdakwa).

Terlepas dari alasan apapun yang menggerakkan publik untuk menaikkan voltase listriknya , ternyata hal ini cukup bisa menjadi analogi bagaimana cyberbullying merajalela di jaman sekarang. Kok bisa nyambungnya ke sana? Here's why. Pada dasarnya, bullying adalah sebuah cara yang digunakan orang (satu atau sekelompok orang) untuk mengontrol perilaku seseorang, dengan cara yang tidak baik dan tidak benar. Pada era globalisasi, pengontrolan perilaku ini "bisa" dilakukan dengan menggunakan media digital. Contohnya adalah media sosial (SNS-Social Network Services). 

Ada banyak kasus cyberbullying yang dilakukan oleh netizen di dunia, terutama Indonesia, yang dilakukan sebagai bentuk konformitas (ikutan ngebully karena yang lain juga ngebully) atau sebagai bentuk "penegakan keadilan". Pernah tau kasusnya youtuber Kazakhstan bernama Dayana? Atau drama Korea berjudul Racket Boys yang ratingnya terjun bebas setelah menghina Indonesia? Atau yang baru-baru ini terjadi, masih hot, pelaku pelecehan seksual di KPI Pusat yang merasa dibully massal karena identitas mereka diungkap secara gamblang oleh korban? 

Sebenarnya, kalau hanya satu orang yang menghujat, nggak akan ada rasanya (bukan berarti membenarkan bahwa satu-dua orang boleh menghujat orang lain). Analoginya ada di video eksekusinya. Ketika jumlah voters masih berjumlah puluhan atau ratusan, sang terdakwa nggak merasakan apapun, masih bisa ngomong secara jelas bahkan menantang perang urat saraf dengan Hakim Kang. Tapi ketika jumlahnya sudah mencapai ratusan ribu, sang terdakwa mulai merasa sensasi listriknya. Komen negatif, kata-kata kasar bahkan pelaporan untuk menonaktifan akun seseorang yang dilakukan oleh massa yang besar akan sangat terasa oleh korban. Orang-orang berbondong-bondong untuk menghujat, report, berkata-kata kasar dan kotor terhadap 'terdakwa' dengan dalih sebagai "Agen hukum karma" atau "membela korban". Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, jika pembelaan mereka terhadap korban menjadi sebuah gerakan cyberbullying, maka apa yang dilakukan oleh para 'agen penegak hukum' ini nggak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh terdakwa. Sang terdakwa kini menjadi 'korban' dan para 'agen penegak hukum' adalah pelakunya. Miris kan jadinya?

Bagiku, nge-judge seseorang dengan perilaku mereka adalah hal yang akan secara otomatis dilakukan oleh manusia. Boleh? Boleh aja, namanya juga proses otomatis. Emangnya bisa menghentikan sebuah proses otomatis? Tapi... Yang harus diperhatikan adalah apa yang dilakukan setelahnya. Kalo setelah menelaah dan mempersepsi sesuatu kita reaktif dan langsung berkomentar, menghujat dan menyerang balik perilaku orang yang kita nilai, ini yang nggak boleh. Aku pernah menjadi korban bullying sewaktu masih SD. Menghilangkan dampak negatif dari bullying ini sulit, bahkan bisa dibilang residu efeknya di aku masih ada. It stacked up and made my personality as I am now. Karena aku tau nggak enaknya di-bully itu kaya apa, aku jadi nggak reaktif terhadap sesuatu. Yaa... pernah sekali-kali kelepasan (namanya juga manusia), tapi nggak sampe menimbulkan agresi ke orang lain. 

Ingat teman-teman, apa yang dilakukan pada penelitian Milgram itu adalah "eksperimen". Dalam kondisi alamiahnya, bisa jadi mereka nggak akan mau disuruh nyetrum orang lain walau diminta atau walau itu adalah SOP yang harus dilakukan karena orang lain bersalah. Mereka tetap punya hati, mereka bisa berempati. Jadi... Kalau kalian nggak mau nyetrum orang lain yang berada di kursi listrik, kenapa kalian bersedia membuat orang lain menderita dengan komentar kalian?

Dan satu lagi.

Nggak ada satu orangpun di dunia berhak menjadi korban bullying. Seburuk apapun perilaku yang dilakukan oleh orang tersebut. Karena kalo mata dibales mata, maka dunia ini akan dipenuhi dengan orang buta.

0 comments:

Post a Comment