Wednesday, June 16, 2021

(I'm Trying to) Disclose About Myself

Edit Posted by with 2 comments
Malem-malem mau curhat aja... Karena beberapa hari ini kepikiran terus.

Jadi... Lagi rame soal vaksin kan ya? Beberapa orang yg hampir lose contact sama saya ketika ngobrol akhir-akhir inipun salah satu basa-basinya adalah "udah vaksin belum?". Tentu saja jawaban saya "Belum!". Bukan karena anti-vak, bukan karena nggak sepakat sama program pemerintah, tapi lebih kepada saya nggak punya previlage untuk mendapatkan vaksin di fase awal. 

Sekarang, saat dimana-mana sudah banyak program pemerintah untuk vaksin gratis, saya masih kesulitan mendapatkan akses ke sana. Kenapa? Saya bukan warga prioritas. Usia saya masih di bawah 60 tahun. Saya bukan guru, bukan PNS, bukan pegawai BUMN. Saya hanya seorang freelancer di sebuah kantor swasta (dan perusahaan tempat saya kerja nggak punya program kerja sama dengan rumah sakit/fasilitas kesehatan untuk menyelenggarakan vaksinasi massal) dan yg paling penting: KTP saya bukan KTP Jakarta dan saya tidak bekerja di Jakarta.

Tapi balik lagi, nggak punya previlage bukan berarti nggak usaha. Ya, saya udah usaha. Entah bagaimana jadinya, yang penting udah usaha. Kalopun harus nunggu programnya sampe ke Bekasi, ya udah ga apa-apa. In Kang Emil we trust!

Anyway... Bukan itu sebenernya yang mau dicurhatin. Jadi... Ada masalah lain mengenai vaksinasi yg sebenernya bikin saya maju mundur buat usaha. Apa masalahnya? Buat yang udah kenal saya dari lama dan kenal saya banget biasanya udah tau. Saya punya gangguan psikologis. Gangguan itu namanya Trypanophobia (fobia jarum suntik) (dulu sama dosen dibilang jangan bilang-bilang kalo punya fobia, nanti malah dijadiin bahan bercandaan sama orang yang nggak ngerti. But... I take my chance to help other people understand what we're going through from my point of view).

Reaksi yang biasa saya terima ketika saya mengungkapkan bahwa saya punya fobia ini adalah "Yaelah! Sama jarum segede gitu aja takut!" atau "Disuntik kan nggak sakit. Masa takut?" atau yang paling menyakitkan "Anak kecil aja nggak takut disuntik, masa kamu yang udah gede masih takut?"

Hhhh...

It's not about the pain.
I'm not fear of that needle/syringe.

I AM PHOBIA TO THAT!




Emang apa bedanya fobia sama takut? 

Ini ya... menurut Oxford dictionary, takut (fear) didefinisikan sebagai "an unpleasant emotion caused by the belief that someone or something is dangerous, likely to cause pain, or a threat." (sebuah ketidaknyamanan emosional yang disebabkan oleh pemikiran bahwa sesuatu akan menyebabkan rasa sakit atau sebuah ancaman) Dan "be afraid of (someone or something) as likely to be dangerous, painful, or threatening." (merasa takut terhadap sesuatu atau seseorang karena hal itu seperti berbahaya, menyakitkan atau mengancam). Sementara fobia didefinisikan sebagai "an extreme or irrational fear of or aversion to something." (ketakutan yang bersifat ekstrim atau tidak masuk akal, atau keengganan terhadap sesuatu). Coba diperhatikan ya... AN EXTEME OR IRRATIONAL FEAR OF!!!

Jadi... Fobia itu kalo dipikir-pikir oleh orang yang nggak mengalami yha... Nggak masuk akal, ngadi-ngadi, lebay dan semacamnya. Emang dari definisinya begitu. Dan yang persepsi oleh orang yang mengalami memang seperti itu. Nggak masuk akal banget gitu ada orang pas mati lampu langsung sesak napas atau ada orang liat darah langsung pingsan. Aneh kan?

Yah... Buat kita yang nggak punya fobia itu, emang terlihat aneh. Tapi bagi mereka yang mengalami, itu mengganggu. Iya emang aneh, si orangnya pasti setuju itu aneh. Tapi kata yang lebih tepat untuk menggambarkan perasaannya (mungkin) adalah mengganggu. Karena dalam DSM V, fobia itu mengganggu. Mengganggu fungsi kehidupan seseorang karena besarnya dorongan untuk menghindari si trigger.

Kalo saya refleksi terhadap hidup saya sejauh ini... fobia ini memang mengganggu fungsi hidup saya. Nggak banyak memang, tapi tetep aja mengganggu. Kalo lagi liat IG trus ada yang posting foto sedang disuntik, HPnya bisa sampe saya buang. Kalo orang rumah lagi ngomongin tentang pengalaman mereka disuntik/infus/transfusi/donor darah, saya bisa histeris sendiri dengernya (literally nutup kuping, badan panas, muka merah, jantung berdebar cepat, dan bisa sampe nangis). Waktu saya saya harus cabut gigi karena geraham bungsu saya tumbuh abnormal, saya histeris di kursi dokter gigi saat saya sadar dokter akan nyuntik gusi saya biar saya nggak ngerasa sakit pas dicabut. Ah! Tahun lalu, saya nangis histeris di ruang dokter, sampe harus dipeluk sama ibu saya waktu kami vaksin meningitis (syarat wajib kalo mau umroh, walau umrohnya batal). Bahkan... Nulis cerita ini aja kepala saya rasanya pusing karena mau ga mau ngebayangin lagi kejadian-kejadian itu. 

Bentar...
Tarik napas dulu ya...
Ini jantungnya mendadak kaya abis balapan lari sama anjing.

Anyways...
Tujuan saya nulis ini adalah mau berbagi mengenai pengalaman emosional saya sebagai seseorang yang hidup bertahun-tahun dengan kecemasan terhadap sesuatu yang nggak mengancam hidup. Dengan berbagi cerita dari sudut pandang saya, saya pengen mengajak temen-temen semua untuk setidaknya aware kalo ada yang cerita mengenai kecemasannya. Entah hal yang dia ceritain itu beneran fobia atau "hanya sekedar" takut terhadap sesuatu. Pengalaman emosional tiap orang itu beda-beda. Saya menyadari kok kalo jarum suntik itu hadir untuk membantu kehidupan manusia. Tapi... Pengalaman dan trauma yang saya punya akan langsung membalik fakta itu kalo udah berhadapan langsung sama triggernya

Jadi... Kurang-kuranginlah menyepelekan emosi orang lain. Mau itu ketika seseorang bahagia banget karena hal yang menurut kita sepele (atau mungkin buat kita "masa hal kaya gitu aja senengnya kaya dapet duit 1M") atau ketika seseorang cemas, panik atau takut terhadap sesuatu yang buat kita biasa aja. Every emotion is valid. Hanya karena kita nggak paham dengan proses yang terjadi pada orang lain, bukan berarti hal itu salah. Mungkin kitanya yang kurang edukasi. Mungkin kitanya yang kurang paham. Mungkin kita perlu berempati sedikit lebih baik lagi.

So...
Be kind to others.
Kamu nggak tau mereka udah melalui apa sampai bisa jadi seperti sekarang.

Peace, love, and
Long live and prosper 

🖖

2 comments: